Posted in Cerpen

PERTANYAAN SEDERHANA

“Ayah, mengapa kakek begitu kaya?”

Sebaris kalimat sederhana itu lebih terasa seperti meriam perang yang dilontarkan tepat menjurus ke dadanya daripada sebuah pertanyaan. Susunan kata-kata polos yang terucap dari anak berumur 5 tahun membuat bahu ini menyender, tak kuasa menahan kisah yang terlalu berat untuk diuraikan.

***

“Ayah, mengapa engkau selalu membelikan anak-anak itu es krim? Makan sehari-hari kita saja sudah susah, giliran anak orang lain saja kemauannya dituruti!”

Kalimat pedas itu terlontar dari bibir bocah laki-laki sekitar kelas 1 SD kepada ayahnya yang hanyalah seorang pedagang es krim keliling seadanya. Pahit, tapi itulah kebenaran yang memang terjadi di keluarganya –ia sering membelikan anak-anak kampung es krim, sedangkan keluarganya hanya makan nasi dan garam– yang tinggal di sebuah kampung kecil, jauh dari perkotaan. Bocah laki-laki itu berlari masuk ke rumahnya, mungkin lebih tepatnya bangunan dari rotan yang sudah peyot menunggu umur untuk jatuh mencium tanah. Miris, tapi itulah kenyataannya.

Anak laki-laki itu bernama Ken, duduk di atas kasurnya –yang juga merupakan kasur kedua orangtuanya– sambil berusaha mengusap air yang ingin menetes keluar dari matanya. Ibunya hanya meliriknya dari dapur, bersikap seperti hal tersebut sudah biasa terjadi, dan meneruskan kembali pekerjaannya, mencuci baju orang di kampungnya demi mendapatkan uang lebih. Sang ayah melangkah memasuki rumah, melepas topi yang sedari pagi ia pakai dan mengelap peluh keringatnya yang tak henti-henti mengucur. Ia duduk di depan anaknya, merangkulkan lengannya yang kemudian dengan cepat ditepis anaknya.

“Ayah memang tak pernah sayang padaku. Kita ini miskin! Tapi ayah masih saja membantu orang-orang itu, buang-buang uang, bantu anak ayah pun tak pernah!” Air mata tak bisa dibendung, tapi sekali lagi, inilah kenyataannya.

“Kita ini kaya, nak.” Ayahnya hanya tersenyum tulus sambil mengusap wajah anaknya yang memerah karena menangis terisak-isak. “Ketika kamu berbagi dengan sesama, maka kamu akan semakin kaya.” Ibunya datang dari dapur, memukul ringan penggorengan yang baru ia cuci sambil berkata,

“Lain kali dengarkan kata anakmu! Hidup susah masih sok-sok menolong orang lain. Kerja sana yang bener, dapat uang banyak, belikan anakmu seragam yang layak. Realistis sedikit, kebanyakan filosofi!”

“Suatu saat kamu akan mengerti, Ken.”

Hari ini ayah Ken berjalan pulang lebih cepat dari biasanya, tersenyum lebih lebar dari biasanya, dan lebih bahagia dari biasanya. Tak sabar ia menemui istri dan anaknya di rumah dan menyampaikan kabar gembira. Sambil berlari kecil ayahnya melepas sandalnya dan mencari keluarganya di dalam rumah.

Kosong. Rumah lebih sunyi dari biasanya. Barang-barang yang biasa menghiasi rumah kecilnya sudah tak ada. Tumpukan baju titipan yang biasanya menunggu disetrika juga tidak ada. Ayah Ken melangkah perlahan dan menemukan istrinya sedang memasukkan barang-barang ke tas besar, tas yang biasa ia gunakan saat pulang kampung.

“Aku pergi. Bersama Ken. Mencari sosok yang lebih pantas dan lebih peduli dengan keluarganya. Dan juga lebih berada. Aku capek hidup miskin.”

Begitulah perpisahannya. Satu percakapan mengakhiri semuanya. Ken dan ibunya pergi meninggalkan rumah tua mereka, meninggalkan desa, dan meninggalkan sesosok lelaki yang hanya terdiam tanpa kata, patah hati.

Sampai di kota, mereka tinggal di rumah teman ibu Ken. Hari-hari terasa lebih manis, makan nasi dengan lauk tiga kali dalam sehari. Tapi nasib memang tak pernah sebaik itu. Ken harus menerima kalau hidup tak semudah itu di umur yang terbilang muda. Lama-kelamaan Ken diperintahkan ibunya untuk mengamen di jalanan, mengemis, atau apapun yang mengharuskan Ken membawa uang tiap malamnya. Untuk disetorkan pada ibunya, untuk mendapatkan jatah makan hari itu.

Setahun hidup dengan cara seperti itu, Ken menjadi pengamen yang lebih bebas dari sebelumnya. Iya, lebih bebas. Karena ibunya tanpa sepengetahuan Ken, diperistri oleh teman yang selama ini memberinya tempat bernaung. Karena ketika Ken pulang sehabis mengamen, rumah itu gelap, terkunci, seperti tak pernah ada yang bernafas disana. Ibunya  dengan tega meninggalkan anak itu sendirian, di kota orang, tanpa siapa-siapa.

Makan debu jalanan, tidur beralaskan tanah, menghirup asap kendaraan adalah hidupnya yang baru. Sesekali saat terbesit kebencian kepada ayahnya yang tak pernah peduli padanya, ibunya yang terlampau tega, penat kepalanya. Tapi semua sudah berbeda. Menyambung kehidupanlah yang ia harus pikirkan. Kehidupan kerasnya ini berlanjut terus sampai bertahun-tahun ke depan.

Hari ini hasil mengamen berlebih dari setoran yang harus Ken berikan pada bos barunya. Sebagai penghargaan untuk dirinya sendiri, ia melangkahkan kakinya yang tak beralas ke supermarket terdekat. Menuju ke cooler box dan meraih Keis ice cream, es krim terpopuler kala itu. Ken sering melihat anak-anak sekolahan menyantap es krim itu saat pulang sekolah. Kini akhirnya ia dapat merasakannya sambil duduk memandangi mobil truk besar berlogo sama yang sedang membongkar muatan. Dari balik mobil itu lelaki berpakaian rapi yang sedari tadi mengamati jalannya proses distribusi, perlahan mendekat padanya dan tiba-tiba memeluknya.

Hatinya bergemuruh ketika mengetahui lelaki itu adalah ayahnya, ia masih sama, seorang penjual es krim. Tapi lebih tegar, lebih teguh, entahlah… dan lebih hebat. Teringat masa kecilnya ia selalu berprasangka buruk kepada ayahnya, membentak, bahkan membenci ayahnya. Tapi ternyata orang yang dibencinya sekarang membuat kakinya tak sanggup menopang tubuhnya yang lesu dan malu karna haru dan penyesalan. Percaya tak percaya, orang hebat yang sehari-hari menyantap nasi, garam, dan teriakan keluarganya sekarang bisa berjajar dengan orang terkaya di Indonesia. Secercah harapan akhirnya lahir kembali. Kerut itu akhirnya terlihat kembali di wajah Ken, senyum yang telah lama hilang.

Ken tinggal bersama ayah kandungnya sekarang, hidup dalam mimpinya selama ini, bersekolah dengan layak. Tumbuh menjadi pemuda hebat, yang tangguh hati, kuat, dan cerdas. Menjadi dosen di universitas ternama, menemukan belahan hatinya dan semua kehidupannya tidak akan bisa menjadi lebih baik lagi.

***

“Ayah, mengapa engkau selalu membelikan anak-anak itu es krim? Makan sehari-hari kita saja sudah susah, giliran anak orang lain saja kemauannya dituruti!”

Sore itu harusnya sore yang indah, pikirnya. Saat pada akhirnya resep es krim buatannya sendiri telah siap. Tak ada lagi komentar buruk atau saran dari anak-anak desa, semua mengatakan bahwa es krim buatannya sangat enak dan mereka sangat menyukainya. ‘Membelikan anak-anak itu es krim’ selama ini adalah pemilihan kata yang salah. ‘Meminta tolong anak-anak itu mencoba resepnya dan memberi feedback’ adalah pernyataan yang lebih tepat. Dari hari kehari ayah Ken terus memperbaiki rasa es krimnya berdasar kritik anak-anak setiap sore. Dan sore itu es krimnya telah sempurna. Ia siap memberi tahu keluarganya tentang project kecilnya, dan meminta dukungan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai penjaja es krim dan memulai wirausaha. Tapi sekali lagi, nasib tidak pernah baik.

“Aku pergi. Bersama Ken. Mencari sosok yang lebih pantas dan lebih peduli dengan keluarganya. Dan juga lebih berada. Aku capek hidup miskin.”

Begitulah perpisahannya. Satu percakapan mengakhiri semuanya. Ken dan ibunya pergi meninggalkan rumah tua mereka, meninggalkan desa, dan meninggalkan sesosok lelaki yang hanya terdiam tanpa kata, patah hati.

Dan waktu serasa berjalan lebih lambat, sangat. Setiap detiknya terasa begitu sakit. Tetesan air dari keran yang rusak tak pernah terdengar sebegitu menyesakkan. Dan kicauan burung gereja tak pernah menyayat sebegitu dalam. Menarik nafas pun tak pernah seberat ini. Kalimat-kalimat dari Ken dan ibunya terngiang-ngiang di telinganya. Ia rasa ia mulai gila.

Rumah itu terlihat seperti tak berpenghuni, tak ada aktivitas disana. Setidaknya itulah yang terlihat dari luar. Berita Ken dan ibunya yang pergi telah menjadi buah bibir di desanya. Tapi tak ada satu pun yang pergi mengunjungi ayah Ken untuk sekedar menghibur. Mereka semua meninggalkan ayah Ken menyesali apa yang selama ini ia perbuat. Kejutan yang tadinya ia persiapkan untuk menyenangkan keluarganya, berakhir menjadi bumerang yang menyerangnya balik. Ayah Ken terus berbaring di atas kasur. Tak berbuat apa-apa. Terlalu sedih untuk sekedar memberi makan burung-burung yang tiap pagi hinggap di pekarangannya. Terlalu sedih untuk melangkah, terlalu sedih untuk memulai hari, terlalu sedih untuk hidup.

Terlalu lama bersedih, terlalu lama sendiri, terlalu lama tidak masuk bekerja, terlalu lama tidak melakukan apapun, ia resmi dipecat. Hidupnya semakin kosong, tapi ia tak peduli, ia tak bisa merasa lagi.

“Ayah Ken! Bolehkah aku meminta es krim itu lagi? Untuk adikku, tolong.”

“Ayah Ken! Adikku terus menangis, aku mohon, keluarlah dari rumah, tuan.”

“Ayah Ken…”

Entah gerakan apa ini tapi ayah Ken keluar membawa sebatang es krim yang tersisa. Memberikannya kepada anak yang sedaritadi menunggunya di depan pintu. Mengucap terimakasih, ia berlari ke adiknya yang memang benar, sedang menangis. Adiknya baru saja terjatuh dari sepeda, lukanya lumayan parah. Tapi ketika mendapat es krim dari kakaknya, anak itu seakan lupa ia baru saja jatuh, seakan lupa seberapa sakit luka yang ia rasakan.

Begitulah yang harusnya es krim itu lakukan untuk ayah Ken. Harusnya es krim itu dapat membuat ayah Ken lupa bahwa ia baru saja jatuh, baru saja merasakan sakit yang teramat dalam. Dan begitulah kejadiannya. Sejak itu, ayah Ken bekerja lebih keras dari biasanya, lebih tekun dari sebelumnya. Tujuannya satu, apabila ia sukses nantinya, ia bisa pergi ke kota dan mencari serpihan hatinya, keluarga kecilnya akan berkumpul kembali dan menerimanya sebagai orang yang berbeda.

Keis Ice Cream dinamai berdasar kata Ken dan Lilis. Nama anak kesayangannya, dan istrinya yang telah lama meninggalkannya dan bahkan mengkhianatinya. Motivasinya untuk bangkit dari kesedihannya. Dan ia bangkit, bahkan melejit menjadi orang berhasil. Ia bukan saja berhasil dalam karirnya, tapi berhasil bangkit dari keterpurukannya, di saat tak ada bahu untuk bersandar.

***

Dan hari itu pun tiba. Entah harus senang atau sedih ia pun tak tahu. Entah harus melangkah ke rumah sakit atau ke pemakaman lebih dahulu. Detak detik jam tak pernah semencekam itu seumur hidupnya. Ken kehilangan sosok lama yang sangat berjasa sangat membekas di hatinya dan sekaligus kedatangan sosok baru dalam hidupnya. Selamat tinggal ayah yang hebat, tekun, dan pantang menyerah, dan oh ya, pemaaf. Selamat datang anakku sayang, insan penerus kakeknya yang begitu kuat.

Harapan Ken bertumpu pada insan itu, Gilang namanya. Semoga hidupnya akan menuai sukses besar seperti kakeknya, semoga hidupnya akan penuh kegemilangan.

***

Gilang, anak semata wayang Ken, duduk termangu menunggu ayahnya –yang sedang tenggelam dalam memori masa lalunya, yang entah adalah memori baik atau buruk– menjawab pertanyaan singkatnya. Dan waktu penantiannya usai,

“Karna hidupnya keras bagai batu, terkikis terus menerus tapi tak pernah goyah. Ketika ia berbagi, ia menjadi kaya,”

Anakku hanya melongo memandangku yang menjawab pertanyaannya hanya dengan satu kalimat. Mantap, pasti, dan dengan tepat mewakilkan seluruh kisah hidup ayahku. Dan memang benar adanya, memang itu kenyataannya.

“Suatu saat kamu akan mengerti, Nak.”